Jumat, 24 April 2009

Cut Nyak Dien dan Teuku Umar Ternyata Berdarah Minangkabau

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Barat, Dr. Mohammad Noor mengungkapkan hal itu di Padang, Kamis, usai menyampaikan hasil akhir dari rencana penerbitan buku Sejarah Minangkabau kepada Komisi E DPRD Sumbar.

Menurut Mohammad Noor, MSI Sumbar bekerjasama dengan Pemda dan Komisi E DPRD Sumbar berencana menerbitkan buku Sejarah Minangkabau, termasuk salah satunya pengungkapan sejarah perkembangan Minangkabau yang selama ini belum pernah ditulis.

Untuk penulisan sejarah Minangkabau itu, katanya, MSI menurunkan 12 orang yang bekerja mengumpulkan bahasan tulisan mengenai sejarah Minangkabau mulai dari zaman pra-sejarah hingga gerakan awal pemurnian Islam di Minangkabau.

"Ini buku pertama tentang Sejarah Minangkabau yang ditulis lebih lengkap, sebelumnya ada sejarah tentang Minangkabau yang ditulis tapi masih dangkal," kata Noor didampingi Drs Buchari MSi, peneliti lainnya.

Ditambahkan, sejarah Minangkabau yang baru selesai ditulis oleh tim termasuk dirinya ini, adalah jilid pertama, dan masih akan berlanjut pada jilid-jilid selanjutnya.

Diketahuinya Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sebagai keturunan orang Minangkabau, merupakan bagian dari hasil penelusuran sejarah Minangkabau yang telah dilakukan oleh timnya dan dituangkan dalam buku sejarah itu.

"Sejarah Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah temuan baru kami dari sejarah Minangkabau pada masa Kerajaan Sumanik yang merantau ke berbagai daerah pesisir di Sumatera, termasuk Aceh," katanya.

Ditemukan sejarah bahwa penyebaran Islam banyak dibawa oleh orang Minangkabau, selain ke Aceh, ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Negeri Sembilan adalah Islam yang dibawa oleh orang Minangkabau.

Di Makassar, Islam pertama dibawa oleh tiga orang Datuk asal Minangkabau, masing-masing Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang.

"Merekalah yang pertamakali mengislamkan orang di Makassar," katanya.

Maka terbitnya buku ini, kata Noor, diharapkan menjadi buku standar bagi sejarah orang Minangkabau yang selama ini belum ada.

Selama ini sejarah Minangkabau lebih banyak diwarnai oleh mitos, dan sulit dicari kebenarannya.

Dicontohkan, akhir hayat Bundo Kanduang disebut mengirab ke langit atau asal muasal orang Minangkabau adalah dari Eropa.

"Mitos-mitos itu sama sekali sulit ditelusuri kebenarannya, karena semua itu muncul dari tambo (semacam hikayat--Red)," ujarnya.

LKAAM Mendukung Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, menyatakan mendukung rencana penerbitan buku itu.

Sampai saat ini Minangkabau tidak memiliki satu buku pun tentang sejarah lengkap Minangkabau.

Jauh sebelumnya tahun 1970, kata Dt Simulie, pernah ada rencana untuk menerbitkan sejarah Minangkabau dengan menggelar seminar Sejarah Kebudahaan Minangkabau di Batusangkar.

Pada seminar itu hadir dan ikut berbicara di antaranya Muhammad Hatta (Wapres RI pertama), Prof. Bahdar Djohan, Buya Hamka, Deliar Noer dan sejumlah tokoh Minangkabau, sejarahwan Indonesia dan luar negeri dari Inggris, Belanda, Jepang dan Malaysia.

"Resume hasil seminar itu dibacakan oleh Hamka waktu itu, dengan memutuskan rumusan menyangkut sumber-sumber penulisan sejarah, yakni tambo, peninggalan purbakala, penulisan nusantara dan penulisan asing," katanya.

Karena hasil resume itu hanya sampai di situ, maka dengan adanya penulisan buku sejarah Minangkabau sekarang, dianggapnya sebagai "pembayar hutang' seminar tahun 1970 itu.

"Penulisan buku sejarah Minangkabau ini memang penting, kita memang belum pernah memiliki sejarah tertulisnya kecuali Tambo dan bukti-bukti sejarah," katanya.

Tentang Tambo itu sendiri, kata Kamardi, ia mendapat kritikan dari seorang penulis Buku Sejarah Tuangku Rao (1964) asal Medan, Onggang Palindungan, bahwa soal Tambo Minangkabau hanya punya nilai sejarah dua persen, selebihnya adalah dongeng.

"Kita selama ini hanya punya Tambo, itu pun tidak banyak nilai sejarahnya," katanya.

Selain itu, Ketua LKAAM Sumbar ini juga meminta penulis sejarah Minangkabau ini menuliskan tentang batas-batas Minangkabau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Sirangkak Nan Badangkang, Buayo Putiah Daguak, Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuak Rajo dan Ombak Nan Badabua.
"Cari dan tunjukanlah di mana batas-batas yang dimaksud dalam pantun itu," katanya.


Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang selama ini dikenal sebagai Pahlawan Nasional asal Provinsi NAD (Nangroe Aceh Darusalam), ternyata mempunyai garis keturunan Minangkabau yang merantau pada masa Kerajaan Sumanik.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Barat, Dr. Mohammad Noor mengungkapkan hal itu di Padang, Kamis, usai menyampaikan hasil akhir dari rencana penerbitan buku Sejarah Minangkabau kepada Komisi E DPRD Sumbar.

Menurut Mohammad Noor, MSI Sumbar bekerjasama dengan Pemda dan Komisi E DPRD Sumbar berencana menerbitkan buku Sejarah Minangkabau, termasuk salah satunya pengungkapan sejarah perkembangan Minangkabau yang selama ini belum pernah ditulis.

Untuk penulisan sejarah Minangkabau itu, katanya, MSI menurunkan 12 orang yang bekerja mengumpulkan bahasan tulisan mengenai sejarah Minangkabau mulai dari zaman pra-sejarah hingga gerakan awal pemurnian Islam di Minangkabau.

"Ini b uku pertama tentang Sejarah Minangkabau yang ditulis lebih lengkap, sebelumnya ada sejarah tentang Minangkabau yang ditulis tapi masih dangkal," kata Noor didampingi Drs Buchari MSi, peneliti lainnya.

Ditambahkan, sejarah Minangkabau yang baru selesai ditulis oleh tim termasuk dirinya ini, adalah jilid pertama, dan masih akan berlanjut pada jilid-jilid selanjutnya.

Diketahuinya Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sebagai keturunan orang Minangkabau, merupakan bagian dari hasil penelusuran sejarah Minangkabau yang telah dilakukan oleh timnya dan dituangkan dalam buku sejarah itu.

"Sejarah Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah temuan baru kami dari sejarah Minangkabau pada masa Kerajaan Sumanik yang merantau ke berbagai daerah pesisir di Sumatera, termasuk Aceh," katanya.

Ditemukan sejarah bahwa penyebaran Islam banyak dibawa oleh orang Minangkabau, selain ke Aceh, ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Negeri Sembilan adalah Islam yang dibawa oleh orang Minangkabau.

Di Makassar, Islam pertama dibawa oleh tiga orang Datuk asal Minangkabau, masing-masing Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang.

"Merekalah yang pertamakali mengislamkan orang di Makassar," katanya.

Maka terbitnya buku ini, kata Noor, diharapkan menjadi buku standar bagi sejarah orang Minangkabau yang selama ini belum ada.

Selama ini sejarah Minangkabau lebih banyak diwarnai oleh mitos, dan sulit dicari kebenarannya.

Dicontohkan, akhir hayat Bundo Kanduang disebut mengirab ke langit atau asal muasal orang Minangkabau adalah dari Eropa.

"Mitos-mitos itu sama sekali sulit ditelusuri kebenarannya, karena semua itu muncul dari tambo (semacam hikayat--Red)," ujarnya.

LKAAM Mendukung Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, menyatakan mendukung rencana penerbitan buku itu.

Sampai saat ini Minangkabau tidak memiliki satu buku pun tentang sejarah lengkap Minangkabau.

Jauh sebelumnya tahun 1970, kata Dt Simulie, pernah ada rencana untuk menerbitkan sejarah Minangkabau dengan menggelar seminar Sejarah Kebudahaan Minangkabau di Batusangkar.

Pada seminar itu hadir dan ikut berbicara di antaranya Muhammad Hatta (Wapres RI pertama), Prof. Bahdar Djohan, Buya Hamka, Deliar Noer dan sejumlah tokoh Minangkabau, sejarahwan Indonesia dan luar negeri dari Inggris, Belanda, Jepang dan Malaysia.

"Resume hasil seminar itu dibacakan oleh Hamka waktu itu, dengan memutuskan rumusan menyangkut sumber-sumber penulisan sejarah, yakni tambo, peninggalan purbakala, penulisan nusantara dan penulisan asing," katanya.

Karena hasil resume itu hanya sampai di situ, maka dengan adanya penulisan buku sejarah Minangkabau sekarang, dianggapnya sebagai "pembayar hutang' seminar tahun 1970 itu.

"Penulisan buku sejarah Minangkabau ini memang penting, kita memang belum pernah memiliki sejarah tertulisnya kecuali Tambo dan bukti-bukti sejarah," katanya.

Tentang Tambo itu sendiri, kata Kamardi, ia mendapat kritikan dari seorang penulis Buku Sejarah Tuangku Rao (1964) asal Medan, Onggang Palindungan, bahwa soal Tambo Minangkabau hanya punya nilai sejarah dua persen, selebihnya adalah dongeng.

"Kita selama ini hanya punya Tambo, itu pun tidak banyak nilai sejarahnya," katanya.

Selain itu, Ketua LKAAM Sumbar ini juga meminta penulis sejarah Minangkabau ini menuliskan tentang batas-batas Minangkabau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Sirangkak Nan Badangkang, Buayo Putiah Daguak, Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuak Rajo dan Ombak Nan Badabua.

"Cari dan tunjukanlah di mana batas-batas yang dimaksud dalam pantun itu," katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar