Senin, 27 April 2009

Adiak Pangulu

Badiri Pangulu sapakaik warih, badiri adaik sapakaik nagari, badiri Rajo sapakaik alam.

Pangulu bak kayu gadang di tangah padang. Pucuaknyo cewang ka langik, ureknyo tampek baselo, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, daunnyo tampek balinduang. Tampek balinduang kapanehan, tampek bataduah kahujanan. Buahnyo kadimakan, aianyo kadiminum.

Tumbuahnyo dek ditanam, gadangnyo dek diambak, tingginyo dek dianjuang. Randah tak dapek dilangkahi, tinggi tak dapek dipanjek. Pandai maagak maagiahan, pandai baliku di nan tanang, pandai balinduang di nan paneh Dibaliak-baliak mangko dibalah

Nan banamo niniak mamak, Pangulu adaik dalam sukunyo. Urang nan arih bijaksano
Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito. Pusek jalo pumpunan ikan, hukumnyo adia, katonyo bana. lupo maingekan, takalok manjagokan.

Kok mauji samo sirah, manimbang samo barek, maukua samo panjang, mambilai samo laweh, mambagi samo adia, baragiah samo banyak. Timbangan nan adia, bungka bagatok, taraju nan piawai. Kusuik ka manyalasai, karuah mampajaniah. Tibo di mato indak dipiciangan, tibo di paruik indak dikampihan, tibo di dado indak dibusuangan.

Muluik Pangulu naknyo masin, pandai bagaua jo urang banyak. Bapantang kusuik tak salasai, di tangah-tangah Pangulu tagak.


Siklus Reproduksi dan Rumah Gadang

Siklus reproduksi di masyarakat Minang membawa dampak bagi tatanan ruang dalam rumah adatnya.

Ada empat aspek penting di kehidupan sosial Minangkabau yang sudah dikenal oleh banyak orang. Inilah yang tergambar dalam penelitian Cecilia Ng, lulusan Australian National University yang mengkhususkan diri pada prinsip-prinsip dasar organisasi ruang domestik pada orang Minangkabau di Sumatra Utara.

Yang pertama, penduduk Minangkabau sendiri terdiri dari beberapa suku, yang kemudian lebih difokuskan pada garis silsilah (sa-payuang). Satu kelompok silsilah ini kemudian dipimpin oleh seseorang yang disebut panghulu.

Yang kedua adalah Minangkabau menganut sistem matrifocal (mengikuti garis keturunan ibu), jadi peran wanita di sini lebih besar dari peran laki-laki.

Ketiga, hubungan yang terjadi karena pernikahan, merupakan cara yang paling signifikan untuk membedakan kelompok-kelompok masyarakatnya. Pengelompokan akan terlihat jelas saat ditelusuri silsilah keluarganya.

Yang terakhir adalah pola gerak anak laki-laki. Anak laki-laki akan terus berpindah tempat sampai dia dewasa. Anak laki-laki yang belum disunat, tidur di dalam rumah ibunya, sedangkan yag telah disunat akan tidur di mushola sampai menikah. Sebelum menikah mereka akan menerima pelajaran tentang Islam dari para tetua. Laki-laki remaja yang tidur di dalam rumah yang sudah ada pasangan suami-istrinya (kakak perempuannya sudah menikah), akan membuat pasangan yang sudah menikah itu malu. Biasanya pihak yang dilamar adalah pihak laki-laki. Karena itu setelah menikah, laki-laki akan pindah ke rumah istrinya.

Organisasi Ruang

Rumah gadang selalu berbentuk persegi panjang. Ada tiga macam ukuran, yaitu yang paling besar adalah rumah dengan 30 kolom, 20 kolom, dan yang paling kecil 12 kolom. Namun ketiga ukuran rumah itu mempunyai organisasi ruang yang sama persis.

Kecerdasan Masyarakat Minang Kabau

Merupakan sebuah keniscayaan yang tak dapat disangkal, bila lahirnya kebiasaan dari individu dan masyarakat (custome) dapat membentuk tatanan kelakuan (behaviour) kemudian menjadi budaya (culture). Meleburnya tiga hal tersebut (custome, behaviour, culture) melahirkan satu tatanan yang disebut dengan konvensi/kesepakatan (convention). Di sisi lain ada pula makna suka atau arbitrer yang juga merupakan kesepakatan namun kesepekatan ini tak tertulis dan lebih spesifik.

Dalam disiplin ilmu semiotik (ilmu tentang tanda), hal-hal tersebut dijadikan ‘kacamata’ untuk menilik berbagai fenomena budaya di sekitar kita. Lain padang lain ilalang, demikian kiranya ungkapan yang pantas untuk menyatakan berbagai kesepakatan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat suku Jawa sepakat mengatakan bahwa bendera kuning adalah simbol dari kedukacitaan (ada warga yang meninggal dunia). Untuk menyatakan hal yang sama, suku Rejang (di Bengkulu) menggunakan bendera hijau tua dan di Minangkabau adalah bendera hitam.

Hubungan yang terlihat tersebut merupakan landasan pemahaman yang dijelaskan oleh Saussure (Bapak Linguistik Modern) sebagai penanda (signifiant) dan petanda (siginfie). Signifiant adalah aspek bunyi, kata tulisan, gambar bentuk atau aspek material dari bahasa (konkret), sedangkan signifie adalah konsep, gambaran mental, pikiran dan realitas (abstrak). Pertautan konsep tersebut juga menegaskan pembeda antara tanda (sign), simbol (symbol), kode (code) dan ikon (icon).

Manyasuaikan Diri

Oleh : AB. Dt Majo Indo


Kok manyauak di hilie-hilie
Kok bakato di bawah-bawah
Kok manyuruak bungkuak
Kok malompek patah

Pai ka kandang kambiang mambebek
Pai ka kandang harimau mangaum
Pai ka kandang jawi mamemeh
Pai ka kandang kabau mango’ek

Sikabau jo Sarilamak
Painan jo Taluak Kabuang
Di mano bumi dipijak
Di sinan langik dijujuang
Pangka jaguang baurek mati
Umpan tingkariak anai-anai
Di mano kampuang dihuni
Di sinan pulo adaik dipakai

Silek - Seni Beladiri Minang Kabau

Silek adalah nama Minangkabau buat seni beladiri yang ditempat lain dikenal dengan Silat. Sistem matrilineal yang dianut membuat anak laki-laki setelah akil balik harus tinggal di surau dan silat adalah salah satu dasar pendidikan penting yang harus dipelajari oleh anak laki-laki disamping pendidikan agama islam. Silek merupakan unsur penting dalam tradisi dan adat masyarakat Minangkabau yang merupakan ekspresi etnis Minang.


(Gambar 1.1 Pendekar silek aliran Sitaralak dalam posisi kudo-kudo)

Mencari Nilai Falsafah yang Terkandung Dalam Adat Minang Kabau

Usaha mencari dan menemukan nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam adat Minangkabau sebagai salah satu corak kebudayaan Indonesia adalah penting, karena dalam pembangunan kita perlu mempergunakan bahan-bahan dasar Indonesia asli dan tidak meniru nilai luar yang tidak cocok atau dengan kata lain kita sebutkan, jangan sampai Indonesia bernafas keluar badan.

Hendaknya dengan kebudayaan jangan sampai kita menggunakan kebudayaan yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang dimiliki bangsa kita yang pada akhirnya sulit dicerna dalam kehidupan. Dasar falsafah kebudayaan Indonesia yang telah tumbuh dan ada di Indonesia ini harus ditemukan dan dipertinggi mutunya dan disesuaikan dengan kehendak dan tuntutan zaman.

Kebudayaan adalah jelmaan dari falsafah hidup suatu bangsa. Kebudayaan India berdasarkan falsafah India, kebudayaan Cina berdasarkan falsafah Cina dan demikian juga dengan hal kebudayaan yang lain yang ada di dunia ini.

Sehubungan dengan itu nyatalah pentingnya mencari dan menemukan falsafah apa yang menjadi dasar dari kebudayaan Indonesia dan jelas pula keberhasilan pembangunan dilaksanakan sesuai dan sejalan dengan kepribadian Indonesia dengan bangsa Indonesia hanya akan sanggup mengemukakan kepribadiannya dengan menggunakan falsafah kebudayaan.

Jumat, 24 April 2009

Cut Nyak Dien dan Teuku Umar Ternyata Berdarah Minangkabau

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Barat, Dr. Mohammad Noor mengungkapkan hal itu di Padang, Kamis, usai menyampaikan hasil akhir dari rencana penerbitan buku Sejarah Minangkabau kepada Komisi E DPRD Sumbar.

Menurut Mohammad Noor, MSI Sumbar bekerjasama dengan Pemda dan Komisi E DPRD Sumbar berencana menerbitkan buku Sejarah Minangkabau, termasuk salah satunya pengungkapan sejarah perkembangan Minangkabau yang selama ini belum pernah ditulis.

Untuk penulisan sejarah Minangkabau itu, katanya, MSI menurunkan 12 orang yang bekerja mengumpulkan bahasan tulisan mengenai sejarah Minangkabau mulai dari zaman pra-sejarah hingga gerakan awal pemurnian Islam di Minangkabau.

"Ini buku pertama tentang Sejarah Minangkabau yang ditulis lebih lengkap, sebelumnya ada sejarah tentang Minangkabau yang ditulis tapi masih dangkal," kata Noor didampingi Drs Buchari MSi, peneliti lainnya.

Ditambahkan, sejarah Minangkabau yang baru selesai ditulis oleh tim termasuk dirinya ini, adalah jilid pertama, dan masih akan berlanjut pada jilid-jilid selanjutnya.

Diketahuinya Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sebagai keturunan orang Minangkabau, merupakan bagian dari hasil penelusuran sejarah Minangkabau yang telah dilakukan oleh timnya dan dituangkan dalam buku sejarah itu.

"Sejarah Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah temuan baru kami dari sejarah Minangkabau pada masa Kerajaan Sumanik yang merantau ke berbagai daerah pesisir di Sumatera, termasuk Aceh," katanya.

Ditemukan sejarah bahwa penyebaran Islam banyak dibawa oleh orang Minangkabau, selain ke Aceh, ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Negeri Sembilan adalah Islam yang dibawa oleh orang Minangkabau.

Di Makassar, Islam pertama dibawa oleh tiga orang Datuk asal Minangkabau, masing-masing Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang.

"Merekalah yang pertamakali mengislamkan orang di Makassar," katanya.

Maka terbitnya buku ini, kata Noor, diharapkan menjadi buku standar bagi sejarah orang Minangkabau yang selama ini belum ada.

Selama ini sejarah Minangkabau lebih banyak diwarnai oleh mitos, dan sulit dicari kebenarannya.

Dicontohkan, akhir hayat Bundo Kanduang disebut mengirab ke langit atau asal muasal orang Minangkabau adalah dari Eropa.

"Mitos-mitos itu sama sekali sulit ditelusuri kebenarannya, karena semua itu muncul dari tambo (semacam hikayat--Red)," ujarnya.

LKAAM Mendukung Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, menyatakan mendukung rencana penerbitan buku itu.

Sampai saat ini Minangkabau tidak memiliki satu buku pun tentang sejarah lengkap Minangkabau.

Jauh sebelumnya tahun 1970, kata Dt Simulie, pernah ada rencana untuk menerbitkan sejarah Minangkabau dengan menggelar seminar Sejarah Kebudahaan Minangkabau di Batusangkar.

Pada seminar itu hadir dan ikut berbicara di antaranya Muhammad Hatta (Wapres RI pertama), Prof. Bahdar Djohan, Buya Hamka, Deliar Noer dan sejumlah tokoh Minangkabau, sejarahwan Indonesia dan luar negeri dari Inggris, Belanda, Jepang dan Malaysia.

"Resume hasil seminar itu dibacakan oleh Hamka waktu itu, dengan memutuskan rumusan menyangkut sumber-sumber penulisan sejarah, yakni tambo, peninggalan purbakala, penulisan nusantara dan penulisan asing," katanya.

Karena hasil resume itu hanya sampai di situ, maka dengan adanya penulisan buku sejarah Minangkabau sekarang, dianggapnya sebagai "pembayar hutang' seminar tahun 1970 itu.

"Penulisan buku sejarah Minangkabau ini memang penting, kita memang belum pernah memiliki sejarah tertulisnya kecuali Tambo dan bukti-bukti sejarah," katanya.

Tentang Tambo itu sendiri, kata Kamardi, ia mendapat kritikan dari seorang penulis Buku Sejarah Tuangku Rao (1964) asal Medan, Onggang Palindungan, bahwa soal Tambo Minangkabau hanya punya nilai sejarah dua persen, selebihnya adalah dongeng.

"Kita selama ini hanya punya Tambo, itu pun tidak banyak nilai sejarahnya," katanya.

Selain itu, Ketua LKAAM Sumbar ini juga meminta penulis sejarah Minangkabau ini menuliskan tentang batas-batas Minangkabau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Sirangkak Nan Badangkang, Buayo Putiah Daguak, Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuak Rajo dan Ombak Nan Badabua.
"Cari dan tunjukanlah di mana batas-batas yang dimaksud dalam pantun itu," katanya.


Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang selama ini dikenal sebagai Pahlawan Nasional asal Provinsi NAD (Nangroe Aceh Darusalam), ternyata mempunyai garis keturunan Minangkabau yang merantau pada masa Kerajaan Sumanik.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Barat, Dr. Mohammad Noor mengungkapkan hal itu di Padang, Kamis, usai menyampaikan hasil akhir dari rencana penerbitan buku Sejarah Minangkabau kepada Komisi E DPRD Sumbar.

Menurut Mohammad Noor, MSI Sumbar bekerjasama dengan Pemda dan Komisi E DPRD Sumbar berencana menerbitkan buku Sejarah Minangkabau, termasuk salah satunya pengungkapan sejarah perkembangan Minangkabau yang selama ini belum pernah ditulis.

Untuk penulisan sejarah Minangkabau itu, katanya, MSI menurunkan 12 orang yang bekerja mengumpulkan bahasan tulisan mengenai sejarah Minangkabau mulai dari zaman pra-sejarah hingga gerakan awal pemurnian Islam di Minangkabau.

"Ini b uku pertama tentang Sejarah Minangkabau yang ditulis lebih lengkap, sebelumnya ada sejarah tentang Minangkabau yang ditulis tapi masih dangkal," kata Noor didampingi Drs Buchari MSi, peneliti lainnya.

Ditambahkan, sejarah Minangkabau yang baru selesai ditulis oleh tim termasuk dirinya ini, adalah jilid pertama, dan masih akan berlanjut pada jilid-jilid selanjutnya.

Diketahuinya Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sebagai keturunan orang Minangkabau, merupakan bagian dari hasil penelusuran sejarah Minangkabau yang telah dilakukan oleh timnya dan dituangkan dalam buku sejarah itu.

"Sejarah Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah temuan baru kami dari sejarah Minangkabau pada masa Kerajaan Sumanik yang merantau ke berbagai daerah pesisir di Sumatera, termasuk Aceh," katanya.

Ditemukan sejarah bahwa penyebaran Islam banyak dibawa oleh orang Minangkabau, selain ke Aceh, ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Negeri Sembilan adalah Islam yang dibawa oleh orang Minangkabau.

Di Makassar, Islam pertama dibawa oleh tiga orang Datuk asal Minangkabau, masing-masing Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang.

"Merekalah yang pertamakali mengislamkan orang di Makassar," katanya.

Maka terbitnya buku ini, kata Noor, diharapkan menjadi buku standar bagi sejarah orang Minangkabau yang selama ini belum ada.

Selama ini sejarah Minangkabau lebih banyak diwarnai oleh mitos, dan sulit dicari kebenarannya.

Dicontohkan, akhir hayat Bundo Kanduang disebut mengirab ke langit atau asal muasal orang Minangkabau adalah dari Eropa.

"Mitos-mitos itu sama sekali sulit ditelusuri kebenarannya, karena semua itu muncul dari tambo (semacam hikayat--Red)," ujarnya.

LKAAM Mendukung Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, menyatakan mendukung rencana penerbitan buku itu.

Sampai saat ini Minangkabau tidak memiliki satu buku pun tentang sejarah lengkap Minangkabau.

Jauh sebelumnya tahun 1970, kata Dt Simulie, pernah ada rencana untuk menerbitkan sejarah Minangkabau dengan menggelar seminar Sejarah Kebudahaan Minangkabau di Batusangkar.

Pada seminar itu hadir dan ikut berbicara di antaranya Muhammad Hatta (Wapres RI pertama), Prof. Bahdar Djohan, Buya Hamka, Deliar Noer dan sejumlah tokoh Minangkabau, sejarahwan Indonesia dan luar negeri dari Inggris, Belanda, Jepang dan Malaysia.

"Resume hasil seminar itu dibacakan oleh Hamka waktu itu, dengan memutuskan rumusan menyangkut sumber-sumber penulisan sejarah, yakni tambo, peninggalan purbakala, penulisan nusantara dan penulisan asing," katanya.

Karena hasil resume itu hanya sampai di situ, maka dengan adanya penulisan buku sejarah Minangkabau sekarang, dianggapnya sebagai "pembayar hutang' seminar tahun 1970 itu.

"Penulisan buku sejarah Minangkabau ini memang penting, kita memang belum pernah memiliki sejarah tertulisnya kecuali Tambo dan bukti-bukti sejarah," katanya.

Tentang Tambo itu sendiri, kata Kamardi, ia mendapat kritikan dari seorang penulis Buku Sejarah Tuangku Rao (1964) asal Medan, Onggang Palindungan, bahwa soal Tambo Minangkabau hanya punya nilai sejarah dua persen, selebihnya adalah dongeng.

"Kita selama ini hanya punya Tambo, itu pun tidak banyak nilai sejarahnya," katanya.

Selain itu, Ketua LKAAM Sumbar ini juga meminta penulis sejarah Minangkabau ini menuliskan tentang batas-batas Minangkabau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Sirangkak Nan Badangkang, Buayo Putiah Daguak, Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuak Rajo dan Ombak Nan Badabua.

"Cari dan tunjukanlah di mana batas-batas yang dimaksud dalam pantun itu," katanya.

Penulisan Ulang Sejarah Minangkabau

Daripada membuat ringkasan dan review mengenai lima buah buku karya Rusli Amran, alangkah baiknya jika memperkenalkan sedikit perdebatan mengenai sejarah Minangkabau diantara para penulis sejarah Minangkabau atau yang sering disebut Ahli sejarah amatiran di Indonesia. Sebagian besar orang Indonesia mengetahui karya-karya Taufik Abdullah, Deliar Noer, Alfian, Harsja Bachtiar dan penulis-penulis Indonesia lain yang terdidik dan terpelajar mengenai sejarah Indonesia. Akan tetapi disamping kelompok tersebut terdapat kelompok informal lain yang menulis buku berdasarkan fakta-fakta dan spekulasi yang hanya beredar di Indonesia dan bertujuan hanya untuk dibaca dikalangan rakyat Indonesia saja. Para ahli sejarah amatiran ini menarik untuk dibahas.

Pada pertengahan tahun 1961, semangat kebangsaan dan kepahlawanan orang-orang Minangkabau telah hancur. Pemberontakan yang dilancarkan oleh pendukung Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia dan telah tiga tahun berjuang menentang pemerintahan pusat yang makin lama makin condong dan menunjukan keberpihakan pada budaya Jawa yang otoriter dan komunis, akhirnya dapat dikalahkan.

Banyak orang-orang Minangkabau pergi meninggalkan Sumatera Barat dan tidak pernah kembali lagi. Saat ini mulai dikenal dengan istilah rantau cino, migrasi permanen orang Cina, ketika orang-orang Minangkabau mulai memberikan nama Jawa pada keturunan mereka. Orang-orang Minangkabau mulai mengeluh bahwa di tanah kelahiran mereka di Sumatera Barat, "Para Pemenang" semuanya telah pergi dan yang tertinggal hanya kerbau. Restauran padang dan para imigran dari Sumatera Barat mendadak membludak. Mereka pada umumnya berusaha menekan identitas etnik mereka dan menyesuaikan diri mereka agar terbiasa hidup jauh dari tempat asal mereka di Minangkabau dan hidup dengan kenangan buruk.

Pada tahun 1963, datang lagi sebuah pukulan terhadap orang-orang Minangkabau yang telah kehabisan nafas. Dalam sebuah buku yang ajaib dan sangat aneh yaitu “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Hambali di Tanah Batak (1816-1833)”. Seorang penulis Mandailing bernama Mangaradja Onggang Parlindungan mentertawakan dan mengejek:

“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679)."

Setelah menunggu kejatuhan Soekarno dan kehancuran Partai Komunis Indonesia maka saudara-saudara dari Minangkabau (Brothers from Minang) berani menjawab tantangan yang diberikan oleh Parlindungan. Buku "Sejarah Minangkabau" yang pertama diluncurkan tahun 1970, yang juga berisi ucapan selamat dari Parlindungan sendiri sebagai kata pengantarnya. "Sejarah Minangkabau" tersebut berisi tanggal-tanggal yang akurat dan data-data referensi yang otentik, pengarangnya juga menjelaskan mitos-entik dari sejarah Minangkabau dan sejarah politik Sumatera Barat.

Hamka, seorang intelektual Islam yang populer, secara langsung menantang Parlindungan tahun 1974, dalam bukunya, "Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta". Tetapi usaha yang paling nyata atas penulisan sejarah Minangkabau dilaksanakan oleh Rusli Amran, seorang pensiunan Departemen Luar Negeri Indonesia.

Rusli Amran lahir di Padang tahun 1922 dan sempat mengenyam sistem pendidikan Belanda, Jepang dan Indonesia. Selama masa revolusi Rusli Amran membantu penerbitan surat kabar Berita Indonesia dan pada awal tahun 1950 bergabung dalam birokrasi pemerintah, pertama pada Departemen Pertahanan dan kemudian Departemen Keuangan hingga akhirnya pada Departemen Luar Negeri. Selama puluhan tahun Rusli Amran mewakili Republik Indonesia di Moskow dan Paris ketika orang-orang Minangkabau disingkirkan dari program kebangsaan. Ketika Rusli Amran pensiun ditahun 1972, Ia mendedikasikan dirinya pada proyek sejarah berskala besar yaitu menulis sejarah Sumatera Barat dalam bentuk yang bisa dimengerti dan dijangkau oleh para pelajar Indonesia.

Rusli Amran menyenangi arsip. Dia menghabiskan banyak waktu antara tahun 1970-1980 untuk menggali data dan nara sumber di Belanda dan Indonesia, dengan memfokuskan perhatian pada laporan dan penelitian yang tersedia pada Jurnal Kolonial Belanda pada abad ke 19. Buku pertama Rusli Amran adalah "Sumatera Barat hingga Plakat Panjang" yang merupakan sejarah lengkap termasuk juga laporan arkeologis pada abad ke 13. Dalam buku itu, Rusli Amran menitikberatkan pada interaksi Minangkabau dengan Inggris dan Belanda, sampai pada perang Padri dan Plakat Panjang yang merupakan awal dari pendudukan Belanda di Sumatera Barat.

Rusli Amran sangat cermat dalam melakukan penelitian akan tetapi gaya penulisannya dalam bukunya tidak formal. Dia berhati-hati sekali dalam menterjemahkan semua sumbernya kedalam bahasa Indonesia dan bab tentang masuknya bangsa Eropa diberi judul " Masuknya si Bule".

Buku pertamanya ini adalah proyeknya yang paling ambisius dengan hampir 700 halaman lengkap dengan referensi sumber, reproduksi dari arsip dan dokumen yang terkait beserta sumber asli. Buku keduanya adalah "Sumatera Barat Plakat Panjang" adalah buku lanjutan dari buku yang pertama yang disertai juga dengan terjemahan dari sumber-sumber Belanda yang diambil dari jurnal Belanda dan muncul dalam apendik. Kedua buku ini membuat sumber-sumber dalam bahasa Belanda yang secara bahasa dan tempat sulit terjangkau menjadi mudah terjangkau bagi para pelajar Indonesia yang berminat mempelajari Sejarah Sumatera Barat.

Buku ketiga dari Rusli Amran adalah "Sumatera Barat: Pemberontakan Anti Pajak tahun 1908" yang menjelaskan mengenai sistem tanam paksa kopi, eksploitasi kolonial pada abad ke 19 dengan penelaahan mengenai reaksi atas pajak. Buku ke empat didedikasikan pada kota kelahirannya Padang yang ditulis masih dengan gaya informal dan berisi campuran antara arsip-arsip dan kejadian-kejadian yang bersifat pribadi pada komunitas Eropa dan Jawa. Rusli Amran juga memasukan koleksi-koleksi foto reproduksi yang mengesankan .

Kegigihan Rusli Amran memakai nama Sumatera Barat daripada Minangkabau dalam setiap tulisannya menunjukan penafsirannya terhadap Sumatera Barat sebagai komunitas yang multi etnis dan sejarah interaksi terhadap bangsa Eropa, Cina, Jawa Batak dan Minangkabau. Buku terakhir dari Rusli Amran diterbitkan setelah beliau wafat pada tahun 1996 dalam bentuk kumpulan esai yang berjudul "Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah". Kumpulan esai ini merupakan penemuan yang menakjubkan pada tokoh-tokoh dan momen yang tidak biasa di Sumatera Barat yang menyenangkan untuk dibaca santai.

Terlebih penting dari tulisan Rusli Amran adalah kebaikan hati beliau selama melakukan penelitian terhadap arsip-arsip tersebut dimana beliau menggandakan setiap artikel dan manuskrip yang ada mengenai Sumatera Barat yang sangat banyak jumlahnya. Rusli Amran kemudian menggandakan dokumen-dokumen tersebut dan menyimpannya dalam tiga lokasi yang berbeda di Sumatera Barat yaitu: Perpustakaan Bagian Literatur dan Kemanusiaan Universitas Andalas di Limau Manis, Ruang Baca Konsul Kesenian Sumatera Barat di Gedung Abdullah Kamil di Padang dan Pusat Dokumentasi dan Inventori Budaya Minangkabau di Padang Panjang. Melalui usaha Rusli Amran ini pelajar yang berminat pada sejarah Sumatera Barat dapat menjangkau buku yang menyediakan gambaran yang jelasi dan tanpa pretensi mengenai masa kolonial. Terlebih lagi mereka dapat menjangkau sumber yang asli tanpa harus pergi ke Belanda maupun Jakarta.

Pada akhirnya Istri dari Rusli Amran mendirikan Yayasan Rusli Amran di Jakarta sebagai tempat untuk belajar dan pusat dokumentasi dan tempat untuk mendukung penelitian mengenai sejarah Sumatera Barat. Walaupun secara internasional Rusli Amran tidak cukup terkenal, Rusli Amran telah banyak membantu dalam penelitian terhadap sejarah Minangkabau di Indonesia dan bukunya memang wajib untuk dibaca.

Sejarah Minang Kabau II

Sebaliknya tokoh Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh Tambo sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakansalah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah yang kemudian menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak gunung merapi. Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya, karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata kiasan, ”tidak tembak langsung”. Tafsirannya kira-kira sebagai berikut: Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu gunung merapi yang sangat besar. Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada sampai sekarang pada zaman kita ini.

Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh Sang Guno Dirajo: ”...Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak...” (sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya timbul tenggelam sesuai denga turun naiknya ombak).

Selanjutnya dikatakan:”...Dek lamo - bakalamoan aia lauik basentak turun, nan gosong lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo dipuncak gunuang marapi...” (karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak ubahnya seperti perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca yang akhirnya didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung merapi).

Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi “dari mano titiak palito, dari telong nan barapi, dari mano asal niniak kito, dari puncah gunuang marapi” (dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung
merapi). Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau.

Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti kata-katanya melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut, (dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang Minangkabau.

Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan megalit itu sendiri. Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.

Sejarah Minang Kabau I

Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.

Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas, Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru, Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.

Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit merupakan cabang kebudayaan Dongsong. Megalit seperti yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu, Birma dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong. Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan didukung oleh suku bangsa yang sama pula.

Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsongcadalah bangsa Austronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada Zaman Batu Baru (Neolitikum) yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi.

Gelombang kedua datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang. Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak, Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa, Makasar, Bugis dan lain-lain.

Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh Dr. Bernet Bronson. Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada juga kebenarannya.

Menurut sejarah Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja Macedonia antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur. Tokoh Iskandar Zulkarnai dalam Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam sejarah Melayu, Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh legendaris.