Senin, 27 April 2009

Adiak Pangulu

Badiri Pangulu sapakaik warih, badiri adaik sapakaik nagari, badiri Rajo sapakaik alam.

Pangulu bak kayu gadang di tangah padang. Pucuaknyo cewang ka langik, ureknyo tampek baselo, batangnyo tampek basanda, dahannyo tampek bagantuang, daunnyo tampek balinduang. Tampek balinduang kapanehan, tampek bataduah kahujanan. Buahnyo kadimakan, aianyo kadiminum.

Tumbuahnyo dek ditanam, gadangnyo dek diambak, tingginyo dek dianjuang. Randah tak dapek dilangkahi, tinggi tak dapek dipanjek. Pandai maagak maagiahan, pandai baliku di nan tanang, pandai balinduang di nan paneh Dibaliak-baliak mangko dibalah

Nan banamo niniak mamak, Pangulu adaik dalam sukunyo. Urang nan arih bijaksano
Pai tampek batanyo, pulang tampek babarito. Pusek jalo pumpunan ikan, hukumnyo adia, katonyo bana. lupo maingekan, takalok manjagokan.

Kok mauji samo sirah, manimbang samo barek, maukua samo panjang, mambilai samo laweh, mambagi samo adia, baragiah samo banyak. Timbangan nan adia, bungka bagatok, taraju nan piawai. Kusuik ka manyalasai, karuah mampajaniah. Tibo di mato indak dipiciangan, tibo di paruik indak dikampihan, tibo di dado indak dibusuangan.

Muluik Pangulu naknyo masin, pandai bagaua jo urang banyak. Bapantang kusuik tak salasai, di tangah-tangah Pangulu tagak.


Siklus Reproduksi dan Rumah Gadang

Siklus reproduksi di masyarakat Minang membawa dampak bagi tatanan ruang dalam rumah adatnya.

Ada empat aspek penting di kehidupan sosial Minangkabau yang sudah dikenal oleh banyak orang. Inilah yang tergambar dalam penelitian Cecilia Ng, lulusan Australian National University yang mengkhususkan diri pada prinsip-prinsip dasar organisasi ruang domestik pada orang Minangkabau di Sumatra Utara.

Yang pertama, penduduk Minangkabau sendiri terdiri dari beberapa suku, yang kemudian lebih difokuskan pada garis silsilah (sa-payuang). Satu kelompok silsilah ini kemudian dipimpin oleh seseorang yang disebut panghulu.

Yang kedua adalah Minangkabau menganut sistem matrifocal (mengikuti garis keturunan ibu), jadi peran wanita di sini lebih besar dari peran laki-laki.

Ketiga, hubungan yang terjadi karena pernikahan, merupakan cara yang paling signifikan untuk membedakan kelompok-kelompok masyarakatnya. Pengelompokan akan terlihat jelas saat ditelusuri silsilah keluarganya.

Yang terakhir adalah pola gerak anak laki-laki. Anak laki-laki akan terus berpindah tempat sampai dia dewasa. Anak laki-laki yang belum disunat, tidur di dalam rumah ibunya, sedangkan yag telah disunat akan tidur di mushola sampai menikah. Sebelum menikah mereka akan menerima pelajaran tentang Islam dari para tetua. Laki-laki remaja yang tidur di dalam rumah yang sudah ada pasangan suami-istrinya (kakak perempuannya sudah menikah), akan membuat pasangan yang sudah menikah itu malu. Biasanya pihak yang dilamar adalah pihak laki-laki. Karena itu setelah menikah, laki-laki akan pindah ke rumah istrinya.

Organisasi Ruang

Rumah gadang selalu berbentuk persegi panjang. Ada tiga macam ukuran, yaitu yang paling besar adalah rumah dengan 30 kolom, 20 kolom, dan yang paling kecil 12 kolom. Namun ketiga ukuran rumah itu mempunyai organisasi ruang yang sama persis.

Kecerdasan Masyarakat Minang Kabau

Merupakan sebuah keniscayaan yang tak dapat disangkal, bila lahirnya kebiasaan dari individu dan masyarakat (custome) dapat membentuk tatanan kelakuan (behaviour) kemudian menjadi budaya (culture). Meleburnya tiga hal tersebut (custome, behaviour, culture) melahirkan satu tatanan yang disebut dengan konvensi/kesepakatan (convention). Di sisi lain ada pula makna suka atau arbitrer yang juga merupakan kesepakatan namun kesepekatan ini tak tertulis dan lebih spesifik.

Dalam disiplin ilmu semiotik (ilmu tentang tanda), hal-hal tersebut dijadikan ‘kacamata’ untuk menilik berbagai fenomena budaya di sekitar kita. Lain padang lain ilalang, demikian kiranya ungkapan yang pantas untuk menyatakan berbagai kesepakatan yang ada dalam masyarakat. Masyarakat suku Jawa sepakat mengatakan bahwa bendera kuning adalah simbol dari kedukacitaan (ada warga yang meninggal dunia). Untuk menyatakan hal yang sama, suku Rejang (di Bengkulu) menggunakan bendera hijau tua dan di Minangkabau adalah bendera hitam.

Hubungan yang terlihat tersebut merupakan landasan pemahaman yang dijelaskan oleh Saussure (Bapak Linguistik Modern) sebagai penanda (signifiant) dan petanda (siginfie). Signifiant adalah aspek bunyi, kata tulisan, gambar bentuk atau aspek material dari bahasa (konkret), sedangkan signifie adalah konsep, gambaran mental, pikiran dan realitas (abstrak). Pertautan konsep tersebut juga menegaskan pembeda antara tanda (sign), simbol (symbol), kode (code) dan ikon (icon).

Manyasuaikan Diri

Oleh : AB. Dt Majo Indo


Kok manyauak di hilie-hilie
Kok bakato di bawah-bawah
Kok manyuruak bungkuak
Kok malompek patah

Pai ka kandang kambiang mambebek
Pai ka kandang harimau mangaum
Pai ka kandang jawi mamemeh
Pai ka kandang kabau mango’ek

Sikabau jo Sarilamak
Painan jo Taluak Kabuang
Di mano bumi dipijak
Di sinan langik dijujuang
Pangka jaguang baurek mati
Umpan tingkariak anai-anai
Di mano kampuang dihuni
Di sinan pulo adaik dipakai

Silek - Seni Beladiri Minang Kabau

Silek adalah nama Minangkabau buat seni beladiri yang ditempat lain dikenal dengan Silat. Sistem matrilineal yang dianut membuat anak laki-laki setelah akil balik harus tinggal di surau dan silat adalah salah satu dasar pendidikan penting yang harus dipelajari oleh anak laki-laki disamping pendidikan agama islam. Silek merupakan unsur penting dalam tradisi dan adat masyarakat Minangkabau yang merupakan ekspresi etnis Minang.


(Gambar 1.1 Pendekar silek aliran Sitaralak dalam posisi kudo-kudo)

Mencari Nilai Falsafah yang Terkandung Dalam Adat Minang Kabau

Usaha mencari dan menemukan nilai-nilai falsafah yang terkandung dalam adat Minangkabau sebagai salah satu corak kebudayaan Indonesia adalah penting, karena dalam pembangunan kita perlu mempergunakan bahan-bahan dasar Indonesia asli dan tidak meniru nilai luar yang tidak cocok atau dengan kata lain kita sebutkan, jangan sampai Indonesia bernafas keluar badan.

Hendaknya dengan kebudayaan jangan sampai kita menggunakan kebudayaan yang tidak cocok dengan nilai-nilai yang dimiliki bangsa kita yang pada akhirnya sulit dicerna dalam kehidupan. Dasar falsafah kebudayaan Indonesia yang telah tumbuh dan ada di Indonesia ini harus ditemukan dan dipertinggi mutunya dan disesuaikan dengan kehendak dan tuntutan zaman.

Kebudayaan adalah jelmaan dari falsafah hidup suatu bangsa. Kebudayaan India berdasarkan falsafah India, kebudayaan Cina berdasarkan falsafah Cina dan demikian juga dengan hal kebudayaan yang lain yang ada di dunia ini.

Sehubungan dengan itu nyatalah pentingnya mencari dan menemukan falsafah apa yang menjadi dasar dari kebudayaan Indonesia dan jelas pula keberhasilan pembangunan dilaksanakan sesuai dan sejalan dengan kepribadian Indonesia dengan bangsa Indonesia hanya akan sanggup mengemukakan kepribadiannya dengan menggunakan falsafah kebudayaan.

Jumat, 24 April 2009

Cut Nyak Dien dan Teuku Umar Ternyata Berdarah Minangkabau

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Barat, Dr. Mohammad Noor mengungkapkan hal itu di Padang, Kamis, usai menyampaikan hasil akhir dari rencana penerbitan buku Sejarah Minangkabau kepada Komisi E DPRD Sumbar.

Menurut Mohammad Noor, MSI Sumbar bekerjasama dengan Pemda dan Komisi E DPRD Sumbar berencana menerbitkan buku Sejarah Minangkabau, termasuk salah satunya pengungkapan sejarah perkembangan Minangkabau yang selama ini belum pernah ditulis.

Untuk penulisan sejarah Minangkabau itu, katanya, MSI menurunkan 12 orang yang bekerja mengumpulkan bahasan tulisan mengenai sejarah Minangkabau mulai dari zaman pra-sejarah hingga gerakan awal pemurnian Islam di Minangkabau.

"Ini buku pertama tentang Sejarah Minangkabau yang ditulis lebih lengkap, sebelumnya ada sejarah tentang Minangkabau yang ditulis tapi masih dangkal," kata Noor didampingi Drs Buchari MSi, peneliti lainnya.

Ditambahkan, sejarah Minangkabau yang baru selesai ditulis oleh tim termasuk dirinya ini, adalah jilid pertama, dan masih akan berlanjut pada jilid-jilid selanjutnya.

Diketahuinya Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sebagai keturunan orang Minangkabau, merupakan bagian dari hasil penelusuran sejarah Minangkabau yang telah dilakukan oleh timnya dan dituangkan dalam buku sejarah itu.

"Sejarah Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah temuan baru kami dari sejarah Minangkabau pada masa Kerajaan Sumanik yang merantau ke berbagai daerah pesisir di Sumatera, termasuk Aceh," katanya.

Ditemukan sejarah bahwa penyebaran Islam banyak dibawa oleh orang Minangkabau, selain ke Aceh, ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Negeri Sembilan adalah Islam yang dibawa oleh orang Minangkabau.

Di Makassar, Islam pertama dibawa oleh tiga orang Datuk asal Minangkabau, masing-masing Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang.

"Merekalah yang pertamakali mengislamkan orang di Makassar," katanya.

Maka terbitnya buku ini, kata Noor, diharapkan menjadi buku standar bagi sejarah orang Minangkabau yang selama ini belum ada.

Selama ini sejarah Minangkabau lebih banyak diwarnai oleh mitos, dan sulit dicari kebenarannya.

Dicontohkan, akhir hayat Bundo Kanduang disebut mengirab ke langit atau asal muasal orang Minangkabau adalah dari Eropa.

"Mitos-mitos itu sama sekali sulit ditelusuri kebenarannya, karena semua itu muncul dari tambo (semacam hikayat--Red)," ujarnya.

LKAAM Mendukung Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, menyatakan mendukung rencana penerbitan buku itu.

Sampai saat ini Minangkabau tidak memiliki satu buku pun tentang sejarah lengkap Minangkabau.

Jauh sebelumnya tahun 1970, kata Dt Simulie, pernah ada rencana untuk menerbitkan sejarah Minangkabau dengan menggelar seminar Sejarah Kebudahaan Minangkabau di Batusangkar.

Pada seminar itu hadir dan ikut berbicara di antaranya Muhammad Hatta (Wapres RI pertama), Prof. Bahdar Djohan, Buya Hamka, Deliar Noer dan sejumlah tokoh Minangkabau, sejarahwan Indonesia dan luar negeri dari Inggris, Belanda, Jepang dan Malaysia.

"Resume hasil seminar itu dibacakan oleh Hamka waktu itu, dengan memutuskan rumusan menyangkut sumber-sumber penulisan sejarah, yakni tambo, peninggalan purbakala, penulisan nusantara dan penulisan asing," katanya.

Karena hasil resume itu hanya sampai di situ, maka dengan adanya penulisan buku sejarah Minangkabau sekarang, dianggapnya sebagai "pembayar hutang' seminar tahun 1970 itu.

"Penulisan buku sejarah Minangkabau ini memang penting, kita memang belum pernah memiliki sejarah tertulisnya kecuali Tambo dan bukti-bukti sejarah," katanya.

Tentang Tambo itu sendiri, kata Kamardi, ia mendapat kritikan dari seorang penulis Buku Sejarah Tuangku Rao (1964) asal Medan, Onggang Palindungan, bahwa soal Tambo Minangkabau hanya punya nilai sejarah dua persen, selebihnya adalah dongeng.

"Kita selama ini hanya punya Tambo, itu pun tidak banyak nilai sejarahnya," katanya.

Selain itu, Ketua LKAAM Sumbar ini juga meminta penulis sejarah Minangkabau ini menuliskan tentang batas-batas Minangkabau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Sirangkak Nan Badangkang, Buayo Putiah Daguak, Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuak Rajo dan Ombak Nan Badabua.
"Cari dan tunjukanlah di mana batas-batas yang dimaksud dalam pantun itu," katanya.


Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang selama ini dikenal sebagai Pahlawan Nasional asal Provinsi NAD (Nangroe Aceh Darusalam), ternyata mempunyai garis keturunan Minangkabau yang merantau pada masa Kerajaan Sumanik.

Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) Sumatera Barat, Dr. Mohammad Noor mengungkapkan hal itu di Padang, Kamis, usai menyampaikan hasil akhir dari rencana penerbitan buku Sejarah Minangkabau kepada Komisi E DPRD Sumbar.

Menurut Mohammad Noor, MSI Sumbar bekerjasama dengan Pemda dan Komisi E DPRD Sumbar berencana menerbitkan buku Sejarah Minangkabau, termasuk salah satunya pengungkapan sejarah perkembangan Minangkabau yang selama ini belum pernah ditulis.

Untuk penulisan sejarah Minangkabau itu, katanya, MSI menurunkan 12 orang yang bekerja mengumpulkan bahasan tulisan mengenai sejarah Minangkabau mulai dari zaman pra-sejarah hingga gerakan awal pemurnian Islam di Minangkabau.

"Ini b uku pertama tentang Sejarah Minangkabau yang ditulis lebih lengkap, sebelumnya ada sejarah tentang Minangkabau yang ditulis tapi masih dangkal," kata Noor didampingi Drs Buchari MSi, peneliti lainnya.

Ditambahkan, sejarah Minangkabau yang baru selesai ditulis oleh tim termasuk dirinya ini, adalah jilid pertama, dan masih akan berlanjut pada jilid-jilid selanjutnya.

Diketahuinya Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar sebagai keturunan orang Minangkabau, merupakan bagian dari hasil penelusuran sejarah Minangkabau yang telah dilakukan oleh timnya dan dituangkan dalam buku sejarah itu.

"Sejarah Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar adalah temuan baru kami dari sejarah Minangkabau pada masa Kerajaan Sumanik yang merantau ke berbagai daerah pesisir di Sumatera, termasuk Aceh," katanya.

Ditemukan sejarah bahwa penyebaran Islam banyak dibawa oleh orang Minangkabau, selain ke Aceh, ke daerah-daerah pesisir timur Sumatera, Kalimantan, Sulawesi hingga ke Negeri Sembilan adalah Islam yang dibawa oleh orang Minangkabau.

Di Makassar, Islam pertama dibawa oleh tiga orang Datuk asal Minangkabau, masing-masing Datuk Ri Bandang, Datuk Ri Tiro, dan Datuk Ri Patimang.

"Merekalah yang pertamakali mengislamkan orang di Makassar," katanya.

Maka terbitnya buku ini, kata Noor, diharapkan menjadi buku standar bagi sejarah orang Minangkabau yang selama ini belum ada.

Selama ini sejarah Minangkabau lebih banyak diwarnai oleh mitos, dan sulit dicari kebenarannya.

Dicontohkan, akhir hayat Bundo Kanduang disebut mengirab ke langit atau asal muasal orang Minangkabau adalah dari Eropa.

"Mitos-mitos itu sama sekali sulit ditelusuri kebenarannya, karena semua itu muncul dari tambo (semacam hikayat--Red)," ujarnya.

LKAAM Mendukung Ketua LKAAM (Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau) Sumatera Barat, Kamardi Rais Dt Panjang Simulie, menyatakan mendukung rencana penerbitan buku itu.

Sampai saat ini Minangkabau tidak memiliki satu buku pun tentang sejarah lengkap Minangkabau.

Jauh sebelumnya tahun 1970, kata Dt Simulie, pernah ada rencana untuk menerbitkan sejarah Minangkabau dengan menggelar seminar Sejarah Kebudahaan Minangkabau di Batusangkar.

Pada seminar itu hadir dan ikut berbicara di antaranya Muhammad Hatta (Wapres RI pertama), Prof. Bahdar Djohan, Buya Hamka, Deliar Noer dan sejumlah tokoh Minangkabau, sejarahwan Indonesia dan luar negeri dari Inggris, Belanda, Jepang dan Malaysia.

"Resume hasil seminar itu dibacakan oleh Hamka waktu itu, dengan memutuskan rumusan menyangkut sumber-sumber penulisan sejarah, yakni tambo, peninggalan purbakala, penulisan nusantara dan penulisan asing," katanya.

Karena hasil resume itu hanya sampai di situ, maka dengan adanya penulisan buku sejarah Minangkabau sekarang, dianggapnya sebagai "pembayar hutang' seminar tahun 1970 itu.

"Penulisan buku sejarah Minangkabau ini memang penting, kita memang belum pernah memiliki sejarah tertulisnya kecuali Tambo dan bukti-bukti sejarah," katanya.

Tentang Tambo itu sendiri, kata Kamardi, ia mendapat kritikan dari seorang penulis Buku Sejarah Tuangku Rao (1964) asal Medan, Onggang Palindungan, bahwa soal Tambo Minangkabau hanya punya nilai sejarah dua persen, selebihnya adalah dongeng.

"Kita selama ini hanya punya Tambo, itu pun tidak banyak nilai sejarahnya," katanya.

Selain itu, Ketua LKAAM Sumbar ini juga meminta penulis sejarah Minangkabau ini menuliskan tentang batas-batas Minangkabau yang dalam masyarakat Minangkabau dikenal dengan Sirangkak Nan Badangkang, Buayo Putiah Daguak, Sialang Balantak Basi, Durian Ditakuak Rajo dan Ombak Nan Badabua.

"Cari dan tunjukanlah di mana batas-batas yang dimaksud dalam pantun itu," katanya.